Category: Special Notes


Bulan ini nyoba nyoba jadi citizen reporter untuk dipublish di koran Tribun Timur. Beritanya pendek tapi buatnya lama banget. Untuk kali ini butuh sekitar 3 jam untuk mikir dan nulis. Itupun dengan judul yang terkesan “kaku”. Untungnya ada kawan yang nganjurin untuk ganti judul supaya lebih “cool”.. Memang, bahasa jurnalistik dan bahasa peneliti di bidang farmasi itu lumayan beda.. hehehe..
Anyway, mudah-mudahan ke depannya bisa nulis di kolom opini atau lebih besar. Aamiin..

Berikut episode pertama reportase langsung dari Kanazawa, Jepang. Untuk kali ini, nulisnya buat ngajakin rekan-rekan untuk menuntut ilmu di Kanazawa University, kampus yang sementara ini menjadi domisili saintifikku. Semoga ada yang tertarik.. 🙂

Mau Kuliah di Kanazawa Jepang? Yuk Daftar Beasiswa KU-DIKTI 2015

Kamis, 25 Desember 2014 14:35 WITA

Kanazawa University di musim semiCITIZEN REPORTER

Firzan Nainu, Dosen Fakultas Farmasi Unhas, mahasiswa Program Doktoral Kanazawa Universty melaporkan dari Kanazawa Jepang

Citizen Reporter, Firzan Nainu, Dosen Fakultas Farmasi Unhas, ahasiswa Program Doktoral Kanazawa Universty melaporkan dari Kanazawa Jepang

TRIBUN-TIMUR.COM -Setiap tahunnya, Kanazawa University (KU), satu dari delapan puluh enam universitas negeri di Jepang, memberikan kesempatan bagi calon mahasiswa pascasarjana asal Indonesia untuk menuntut ilmu, mengembangkan wawasan, serta merasakan atmosfir penelitian di universitas ini.

Sebagai salah satu universitas terbesar di prefektur Ishikawa, Kanazawa University memiliki tiga kampus utama yang terletak di daerah Kakuma, Takaramachi, dan Tsuruma dan terdiri atas tiga College dan 16 Schools.

Berkat inovasi dan perbaikan pada berbagai bidang, pada tahun 2014, KU kembali didaulat oleh The Times Higher Education sebagai satu dari 100 universitas terkemuka di Asia.

Saat ini, lebih dari 50 mahasiswa Indonesia sedang menempuh studi pada berbagai jenjang di universitas ini.

Walaupun biaya pendidikannya termasuk relatif terjangkau, biaya hidup di Jepang merupakan satu dari yang tertinggi di dunia.

Untuk menyiasati ini, mendaftarkan diri untuk memperoleh beasiswa bisa menjadi satu solusi. Salah satu yang patut dicoba adalah beasiswa KU-DIKTI.

Ini merupakan sebuah program unik hasil kerjasama Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (DIKTI) Indonesia dan KU yang memungkinkan dosen-dosen dari universitas di Indonesia untuk melanjutkan studinya ke jenjang doktoral.

Untuk skema ini, KU kembali membuka pendaftaran calon mahasiswa pascasarjana (khusus doktoral) mulai dari 22 Desember 2014 hingga 13 Februari 2015.

“Siapapun yang telah memenuhi persyaratan administrasi (informasi selengkapnya dapat dilihat di http://www.adm.kanazawa-u.ac.jp/ie/e/abroad/kudikti.html) dapat mengisi aplikasi pendaftaran secara online untuk dipertimbangkan sebagai penerima beasiswa ini,” ujar Maiko Kawanishi, penanggungjawab Global Affairs Section Kanazawa University, melalui emailnya.

Selain melalui skema beasiswa KU-DIKTI, beberapa skema lain mungkin patut dicoba.

Untuk yang ingin menempuh pendidikan pascasarjana namun tidak memenuhi kriteria program KU-DIKTI, dapat mencoba skema Beasiswa Pendidikan Pascasarjana Luar Negeri (BPPLN) dan Beasiswa Unggulan (BU) DIKTI.

Calon mahasiswa Indonesia yang berminat dapat juga mencoba untuk memperoleh beasiswa dari pemerintah Jepang seperti Monbukagakusho Scholarship.

Di lingkup yang lebih sempit, Double Degree Program (DDP) dan Kanazawa University Student Exchange Program (KUSEP) yang merupakan wujud kerjasama antara KU dengan universitas-universitas partner di Indonesia, mungkin bisa menjadi pilihan alternatif.

Untuk pendanaannya dapat melalui bantuan dari DIKTI, Japanese Student Services Organization (JASSO), berbagai asosiasi pemberi beasiswa (list donator beasiswa dapat dilihat di http://www.adm.kanazawa-u.ac.jp/ie/e/abroad/scholarship.html) ataupun melalui dana pribadi hasil kerja part time di Jepang. (*)

Berita di atas diambil langsung dari Tribun Timur online dengan alamat http://makassar.tribunnews.com/2014/12/25/mau-kuliah-di-kanazawa-jepang-yuk-daftar-beasiswa-ku-dikti-2015

Alhamdulillah, seorang kawan mengabarkan bahwa tulisan ini ternyata dimuat di edisi cetak Tribun Timur tertanggal 25 Desember 2014 (walaupun dengan judul yang diedit, gak apalah.. hehehe). Terima kasih atas informasinya Aulia Yahya. 🙂

Citizen Reporter - KU DIKTI 2015- edisi cetak2

Bagi rekan-rekan yang pengen membaca secara gratis artikel hasil penelitian yang dimuat dalam jurnal bereputasi di bidang Kedokteran, Biologi, Fisika, Farmasi, dan Biomedik, mungkin website PLoS (Public Library of Science), http://www.plos.org/, adalah satu dari yang terbaik. Selain PLoS, ada pula grup lawas BioMed Central (http://www.biomedcentral.com/) yang memiliki beragam jenis jurnal kategori open access dan pendatang baru Hindawi Publishing Corporation (http://www.hindawi.com/) yang sedang marak-maraknya melakukan advertisement massal di page Nature dan Science Magazine. Tapi, belum lama ini ada satu jurnal ilmiah bereputasi yang terbit dengan sistem open access. Namanya eLife, http://elifesciences.org/, dan melalui editor in chiefnya, Randy Scheckman, 2013 Nobel Laureate di bidang Physiology or Medicine, jurnal ini termasuk satu dari beberapa jurnal yang sangat men-support early career scientist. Silakan berkunjung ke laman eLife untuk memperoleh informasi lebih lanjut. 🙂

Print

Sebuah Babak Baru (Episode 1)

Akhirnya luluh juga kemalasanku untuk menulis sesuatu di dinding blog ini.. *setelah lima bulan selalu terjebak dalam rutinitas dan segala macam alasan*

Dua bulan yang lalu, sebuah berita gembira hadir di tengah keluarga kecil kami. Alhamdulillah, akhirnya seorang bayi putri mungil, yang kami beri nama Eiliyah Safiya Kanza, lahir dari rahim istriku melalui sebuah proses c-section yang singkat (sekitar 40 menit) di Uchida Maternity Clinic, sebuah klinik bersalin swasta yang lokasinya dekat dengan apartemen kami. Well, operasinya sih singkat tapi masa nunggunya lumayan lama (kurang  lebih 56 jam terhitung dari masa pecahnya air ketuban). Setelah proses persalinan berakhir, istriku beserta bayi kami harus menginap selama 10 hari untuk pemulihan kondisi sekaligus berpartisipasi dalam parental training.

Begitu banyak peristiwa yang terjadi pada saat itu. Semuanya adalah hal yang baru bagi kami (karena ini adalah anak pertama) dan luar biasanya lagi tidak ada seorang pun dari orang tua kami yang secara fisik menemani pada saat menyongsong sang buah hati (Untungnya saat ini sudah ada sarana telekomunikasi antar negara sehingga aku bisa memberikan laporan pandangan mata untuk orang tua dan mertua.. hehehe). Tapi terlepas dari itu semua, mungkin yang paling berkesan bagiku adalah pada saat dokter penanggung jawab persalinan memberitahukan pada kami bahwa istri tercinta mesti menjalani c-section (caesarian sectio; operasi caesar). Kami yang pendatang baru di parenting field ini pun kaget bukan kepalang karena mesti disuguhkan pada pilihan yang cukup menakutkan (at least bagiku operasi model ini punya resiko yang cukup tinggi). Apalagi ditambah dengan kenyataan bahwa kemampuan bahasa Jepang kami luar biasa amburadulnya sehingga kesan horor pun teramplifikasi 3 kali lipat karena proses transfer informasi dari dokter ke kami jadi agak tersendat (jika tidak ingin dikatakan, macet 70%.. hehehe)..

Jika ingin jujur, aku betul betul cemas pada saat itu. Bagaimana tidak? selain kami tidak punya pengalaman dalam hal yang satu ini, tak ada satu pun keluarga yang (secara fisik) dapat menemani pada saat itu. Belum lagi, sering terdengar kabar bahwa persalinan via c-section seringkali berujung pada tragedi. Huff.. Tanpa embel-embel rendahnya persentase keselamatan ibu dan bayi pun, aku sudah keringan dingin duluan. Pokoknya, dari seluruh kecemasan yang pernah terjadi dalam hidupku, kecemasan inilah yang paling tinggi tingkatannya.

Tapi, disinilah kemudian aku melihat sebuah keberanian sejati dan memahami makna sebuah tanggung jawab. Ya.. Keberanian dan tanggung jawab.. Entity abstrak yang mungkin selalu kita ucapkan dan senantiasa ramai terdengar di seluruh penjuru mata angin itu teruji nyata pada momen indah yang satu ini. Well, jika tak percaya, cobalah rasakan sendiri.. 🙂

Apparently, telah tiba masa dimana kami berdua mulai sibuk merencanakan banyak hal baru dalam hidup ini. Bahagia sekaligus mendebarkan..

Sebenarnya telah lama hal ini ingin kutuang dalam sebuah tulisan. Entah karena didera rasa malas yang berkepanjangan untuk mengunjungi blog ini atau karena sekedar sibuk menjalani rutinitas sebagai seorang pelajar atau yang lebih parah, karena keduanya, sungguh berat rasanya membuat sebuah kalimat sebagai pembuka tulisan berikutnya.

Tapi tidak untuk malam ini kawan..

Tangan, mata, dan otak yang biasanya tak mau akur jika diajak bekerjasama untuk menulis di blog ini entah mengapa seperti layaknya satu kesatuan tubuh. Kompak! Mungkin karena berita yang ingin kusampaikan adalah berita yang membuatku sangat bahagia. Atau mungkin karena pikiranku melayang pada hari terakhir aku meng-update tulisan di blog ini (yang saking lamanya sampai akupun lupa kapan tepatnya jika tidak mengecek history tulisanku.. hehehe). Anyway, apapun itu, it doesn’t matter now. Yang terpenting saat ini adalah bagaimana caranya memindahkan perasaan sukacita yang  kualami ini ke dalam sebuah tulisan.

Well.. Seperti yang selalu saya yakini. Hidup ini tidak akan terasa bermakna jika tidak dilalui dengan berbagi.. 🙂

15 Februari 2013..

Kisah ini dimulai di sebuah klinik kesehatan di kota Kanazawa, Prefektur Ishikawa, Jepang. Sebuah ilustrasi visual yang menggambarkan keberadaan secercah kehidupan di dalam rahim istriku nampak jelas terpampang di monitor. Sungguh.. aku sangat terharu melihatnya. Ingin rasanya kudekap cahaya kehidupan itu. Tak kuat rasanya aku meninggalkan rekaman indah itu walau hanya sedetik.

1 Maret 2013

Sebuah gelombang dengan irama yang cepat melintas satu persatu di layar monitor hitam putih itu. Suaranya lirih namun menggambarkan kekuatan hidup yang nyata. Untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku menyaksikan detak jantungmu “bubba” sayangku. Sebuah hal normal yang membuatku merasa istimewa..

14 Juli 2013 (3 Ramadhan 1434 H)

Hari ini aku dan istriku berdiskusi banyak hal tentang sang bayi. Tentang segala keperluan hidupnya selama kami disini, tentang namanya, tentang tendangannya yang semakin tegas berbekas di perut sang istri, dan tentang winter di bulan desember yang mungkin akan membuatnya kedinginan. Banyak hal yang memerlukan pertimbangan dan kami akan berusaha sekuat tenaga untuk memberikan yang terbaik selama semua diridhai oleh-Nya.

Kawan.. Bagiku, menjadi seorang pria dengan titel ganda, suami sekaligus pelajar yang sedang menantikan datangnya si buah hati di negeri orang, adalah sebuah tantangan yang istimewa karena tidak semua orang diberikan kesempatan ini. Saking istimewanya, untuk menjalani kehidupan seperti itu diperlukan kehadiran seorang istri yang mampu berbesar hati menerima perbedaan dan memiliki kesabaran berlapis baja. Karakteristik yang sangat sulit (atau bahkan tidak dapat) diajarkan di bangku sekolah dan (mungkin) tidak bisa diukur dengan metode apapun.  Maka berbahagialah orang-orang yang telah menemukan kebahagiaan itu dimana pun ia berada.

Selamat menunaikan ibadah puasa Ramadhan 1434 H. Semoga kita semua diberikan kemampuan untuk menjadi pribadi-pribadi muslim yang teguh dalam ketaatan.

Ditulis sambil menunggu sahur hari ke-4 Ramadhan,

Asahi-machi 2-4-11. Kanazawa, Ishikawa

Cerita Cinta Kita di Tiga Negara..

Dear Zaudjah,

Tiga tahun, tiga negara.. Itulah petualangan kita dalam berumah-tangga, sayang. Sebuah karunia yang tak terhingga. Dan kita berdua tahu itu.. 😉

Australia, Indonesia, dan Jepang. Tiga negara yang berbeda dalam budaya dan bahasa – sebuah kombinasi unik yang telah digariskan oleh-Nya dalam Lauhul Mahfudz – telah menjadi saksi kita dalam menjalani hidup sebagai sepasang manusia. Sungguh sayang bila ini tak dituliskan dalam sebuah naskah.. Aku berharap cerita ini akan menjadi pengingat bagiku dan akan jadi memoar – sebuah kapsul waktu – yang dapat dibaca oleh anak cucu kita kelak, Insya Allah..

11 Jan 2010 – Saat dimana kita pertama kali menjejakkan kaki di bandara Sydney, Australia. Engkau terlihat sangat bahagia saat itu sayang (Walaupun pada saat itu kita terlihat seperti sepasang turis kampungan yang membawa beragam perkakas rumah tangga dari kampung halaman).. Itulah awal dimana kita memulai perjalanan hidup kita selama 1,5 tahun ke depan..

Juli 2010 – Masih ingatkah engkau ketika kita menggigil bersama di Mount Buller (Victoria) bersama kawan-kawan seperjuangan kita, menjelajahi kota Melbourne yang modern, menapaki rute panjang Bondi beach-Coogee Beach (Sydney) yang melelahkan, menikmati pancake on the rocks di Darling Harbour (Sydney) yang romantis, dan menikmati suasana indah penghujung malam di Opera House (Sydney)? Setiap detiknya begitu berharga bagiku, sayang.. Indah seperti yang aku khayalkan selama ini.. Tak pernah kubayangkan jika khayalan itu akan terasa nyata saat bersamamu..

Tapi cerita cinta kita di Australia tidak berhenti sampai disitu, sayang.. Masih segar dalam ingatanku ketika kita mengunjungi Trinity Bay, Rain Forest, dan Cairns Espalanade (Cairns) yang indah dan eksotik di penghujung tahun 2010 bersama our lovely big family, menikmati piknik rutin keluarga kecil kita di Strand Beach dan Rock Pool (Townsville) dan bermain kano bersama di Arcadia Bay (Magnetic Island, Townsville) untuk merayakan setahun kebersamaan kita dalam berumah tangga. Semua momen indah ini terangkum dalam bingkai kasih sayang di hatiku, zaujah.. Dan aku harap akan tetap tersimpan selamanya walau jasad fana ini telah rapuh dimakan usia.

27 Agustus 2011 – Masa dimana kita mengharu biru dalam sebuah kesedihan dan kebahagiaan. Sedih karena kita akan meninggalkan Australia dan menutup album kisah kita di negara tersebut dan bahagia karena kita akan menghambur dalam pelukan orang-orang yang kita kasihi dan memulai kisah kecil kita bersama mereka di negeri tercinta, Indonesia.

Makassar, Indonesia. Sebuah zona kecil di area nusantara dimana cita rasa kuliner dan keindahan menyatu dalam balutan irama kesederhanaan. Tempat dimana kita bertemu untuk pertama kalinya dan bersepakat untuk mengucap janji saling setia dalam ikatan suci pernikahan. Disinilah kita kemudian akan melanjutkan perjalanan cinta kita selama setahun ke depan..

Sayangnya, tak banyak momen spesial yang terjadi pada masa itu. Aku selalu disibukkan oleh rutinitasku sebagai seorang pengajar dan peneliti sehingga waktu kita untuk berkumpul dan tertawa bersama menjadi sangat berkurang. Aku tahu masa ini adalah hal yang paling membosankan buatmu, sayang. Namun, engkau selalu ada di balik pintu coklat itu. Sabar menungguku pulang sambil tersenyum ceria. Setiap hari..

Ah.. Begitu beruntungnya aku bersamamu, sayang.. Tidak sedikit masa dimana aku tak mampu berkata apa-apa dan tanpa perlu aku jelaskan, engkau segera mengerti kesusahan yang sedang aku alami. Yang terkadang membawaku berpikir dalam sebuah ironi. Apakah engkau merasakan kebahagiaan yang sama denganku, sayang?

Sayang, aku selalu berpikir untuk membawamu melanglang buana ke bumi Eropa. Menjelajahi Jerman yang misterius, mengunjungi Paris yang mempesona, dan melintasi Italia yang romantis. Persis seperti yang dulu kita impikan semasa di Australia. Dan aku berpikir telah memiliki kesempatan itu saat memperoleh beasiswa ke Jerman. Namun, kesempatan itu ternyata datang bersama berita buruk sebab kemungkinan besar aku harus berpisah darimu. Dan aku tak mau itu. Petualangan ini HARUS menjadi cerita kita berdua. Ini adalah harga mati untuk sebuah kebersamaan.

Dan Allah Azza wa Jalla telah memberikan kita rezeki yang tak terkira.. Kebahagiaan mengetuk pintu kamar kita sambil membawa sepucuk berita gembira. Kita akan mengunjungi dan tinggal selama tiga tahun di Kanazawa, sebuah kota di Jepang dimana corak masa depan dan kisah masa lalu bertemu. Engkau terlihat begitu bahagia waktu itu, sayang.. Bahagia karena di kota itu kita akan memulai petualangan baru bersama. Petualangan yang hingga kini masih menjadi misteri bagi kita berdua.

Inilah buah dari kesabaran. Seperti sepenggal hadits yang pernah disampaikan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Siapa yang merasa cukup, Allah akan mencukupinya (sehingga jiwanya kaya/merasa cukup dan dibukakan untuknya pintu-pintu rezeki).” (HR. Al-Bukhari no. 1469 dan Muslim no. 2421)

Sayang, sebuah kesyukuran bagiku untuk dapat mengunjungi beberapa tempat romantis, lokasi-lokasi petualangan, atau sekedar berbaur dalam komunitas manusia di negara-negara tersebut, bersamamu.. Membuatku mampu keluar dari dunia kecilku yang picik dan berusaha menjadi seorang kawan terbaik bagimu dalam menjalani sisa hidup ini..

Tak akan aku pungkiri bahwa perbedaan pendapat akan selalu ada di antara kita.. Engkau dengan jiwa pemimpi dan segala imajinasimu dan aku dengan jiwa realistis dan segala pertimbanganku akan selalu bertemu di persimpangan jawaban.. Sebuah persimpangan yang setiap saat akan membutuhkan keikhlasan hati untuk senantiasa menghormati keputusan yang telah disepakati. Tapi, bukankah menjalani perbedaan itu adalah sesuatu yang akan selalu membawa kita menuju pada kemenangan, sayang.. Kemenangan hakiki dari sebuah emosi jiwa yang bernama “ego”..

Siapa yang tahu, akan kemana Allah menentukan jalan takdir kita melangkah, sayang?

Aku harap, mengunjungi Baitullah dan menghirup wangi surga bersamamu adalah jawabannya..

Ditulis sebagai “kado” tiga tahun kebersamaan kita.

Salam manis,

Suami yang Insya Allah akan selalu menyayangimu..

Mengejar Mimpi di Kanazawa

Alhamdulillah..

Akhirnya setelah hampir setahun vakum, aku dapat kembali menulis jejak-jejak langkahku di blog ini.

December 2012.. A new chapter in our life has started..

Kanazawa, Jepang.. Insya Allah disinilah aku dan istriku tercinta akan bermukim selama 3 tahun ke depan..  Disini, aku ingin belajar menjadi seorang peneliti (jika bisa kelas dunia, kalau tidak bisa kelas lokal pun jadilah.. hehe) dan istriku ingin menjadi turis sekaligus pencari ilmu paruh waktu.. Sebuah kombinasi yang normal (?), bukan? 🙂

Tidak terasa telah dua bulan kami tinggal di kota ini. Dan Alhamdulillah kami masih bertahan (bahkan hidup dengan nyaman) walaupun tidak tahu menahu tentang bagaimana membaca aksara Jepang dan berbicara dalam bahasa Jepang. Sedikit banyaknya telah kami rasakan irama kehidupan di salah satu kota di bagian pantai barat Jepang ini, dengan sedikit bumbu “lost in translation” tentunya.

Masih teringat di benak kami waktu pertama kali menginjakkan kaki di Kansai International Airport. Semua serba asing.. Berbeda dengan pada waktu di Australia, kini kami harus berinteraksi dengan bahasa dan aksara yang kami tidak tahu maknanya. Tapi disitulah tantangannya. Kami harus bisa membuktikan kalau kami bisa survive di Jepang..

Tantangan pertama. Kami harus menempuh perjalanan darat menggunakan bus atau kereta api untuk sampai ke kota Kanazawa. Dengan pertimbangan waktu tempuh yang lebih pendek, kami akhirnya sepakat memilih angkutan kereta api (JR Express) untuk sampai ke Kanazawa (dan tentunya dengan niat untuk melihat stasiun Kanazawa yang katanya merupakan salah satu stasiun dengan arsitektur tercantik di dunia – http://www.travelandleisure.com/articles/worlds-most-beautiful-train-stations/7 – ;). Sayangnya, kami berdua betul-betul tidak bisa berbahasa Jepang. Walhasil, kami harus berusaha bertanya kesana kemari mengenai jalur kereta ke Kanazawa. Untunglah ada bagian informasi di depan pintu bandara (bahasa kerennya Airport Gate.. ceile) yang menyediakan layanan informasi dalam bahasa inggris. Berkat petunjuk dari bagian informasi bandara, kami akhirnya dapat menemukan lokasi loket pembelian tiket kereta api. Dari situ pulalah kami mengetahui bahwa barang-barang kami dapat diantar ke Kanazawa menggunakan sebuah perusahaan ekspedisi. Akhirnya, supaya tidak repot kami menggunakan jasa layanan tersebut dan barang kami akan tiba di Kanazawa keesokan sorenya.

Sesampainya di lokasi pembelian tiket kereta api, kami berdua kembali bingung karena ternyata sekitar 90% information board yang berisikan informasi penting seputar jalur kereta dan jadwal kereta ditulis dalam aksara Jepang (gak tau apakah itu katakana, hiragana, atau kanji) sehingga sebagai pengunjung baru, kami merasa wajib panik.. hehehe.. untunglah dengan bantuan conversation two-in-one antara kami dengan seorang anak muda Jepang (kami bertanya dalam bahasa inggris dan dia menjawab dalam bahasa jepang.. gimana cara mengertinya ya?), kami akhirnya dapat membeli tiket kereta menuju Shin-Osaka (dan ternyata pada saat diperiksa oleh kondektur, sang kondektur bilang – dalam bahasa jepang tentunya – kalau tiketnya salah dan kami harus membayar tiket lain saat itu juga.. Untung gak mahal.. hihihi). Perlu diketahui, untuk sampai ke Kanazawa, kami harus mengambil jalur Kansai – Shin-Osaka – Kanazawa yang artinya akan ada one stop di Shin-Osaka (pada saat itu kami tidak tahu menahu tentang jalur yang lain, jika ada).

Di Shin-Osaka, walaupun petugas loketnya ramah-ramah tapi masih sama habitnya. Ditanya bahasa inggris eh, malah dijawab pake bahasa jepang. Berbekal bahasa isyarat itupun kami berhasil membeli tiket ke Kanazawa. Perjalanan ke Kanazawa ditempuh dalam waktu 3-4 jam dan alhamdulillah kami tiba dengan selamat. Utusan Global Affairs Office Pihak Kanazawa University (tempatku akan menuntut ilmu..ehem..ehem), atas nama Maiko-san, menjemput kami di stasiun dan langsung mengantar kami ke pihak Real Estate Agent untuk menandatangani berkas sewa apartemen (orang sini bilangnya apato..). Setelah itu barulah beliau mengantar kami ke apato.

Tantangan kedua. Transaksi jual beli di Jepang pada hari pertama kedatangan sangat sulit untuk dilupakan. Bahkan, kalau diingat-ingat bolehlah untuk jadi bahan candaan. Seperti biasa, penyakit orang Jepang kalau bertemu turis. Dimanapun sama saja. Ditanya bahasa inggris jawabnya pake bahasa jepang. Bahkan untuk supermarket sekelas AEON.. Untunglah harga barang-barang ditulis dalam angka sehingga kami bisa paham.. hihihi..

Yang masalah, mungkin untuk tahu status halal dan haramnya suatu bahan makanan. Kalau untuk bahan mentah mungkin agak mudah. Yang sulit itu pada saat mau membeli barang kemasan. Misalnya, biskuit atau roti. Akhirnya, supaya lebih aman, kami pun hanya membeli udang dan ikan tempura yang telah siap untuk dikonsumsi (pada waktu itu kami belum punya perlengkapan dapur sama sekali – sewa apato ternyata tidak termasuk kompor dan perlengkapan lainnya) dan membeli nasi kemasan (yang dimasak menggunakan microwave) di mini retail dekat apato. Makan malam yang sangat sederhana namun terasa sangat istimewa. Makan malam pertama kami berdua di Kanazawa.. Momen indah yang tidak akan terlupakan.. 🙂

Tantangan ketiga. Bagaimana kami melalui malam pertama kedatangan tanpa ada apapun di apato kami? Bahasa kerennya, No Bed, No Warm clothes, No blankets, de el el. Untunglah ada seorang teman asal Makassar, namanya jenk Ira Taskirawati, yang berbaik hati meminjamkan kasur tidurnya (bahasa sini = Futon) dan beberapa pernak-pernik (?) seperti mesin cuci, kulkas, dan beberapa alat masak.. Entah darimana kawan tersebut memperoleh barang sebanyak ini tapi yang jelas kami bisa tidur di atas kasur tidur yang walaupun ukurannya single size futon namun empuk rasanya (sambil membayangkan empuknya spring bed di kamar tidur kami di Makassar supaya nuansa tidur lebih terasa nyaman.. hihihi).

Karena letih, kami akhirnya segera terlelap. Namun, karena suhu yang sangat dingin (mungkin sekitar 10 derajat celcius) kami terjaga di tengah malam. Masalah timbul karena koper berisi jaket kami masih dalam perjalanan menuju Kanazawa dan baru tiba keesokan harinya. Walhasil, kami akhirnya harus rela tidur dalam suhu yang relatif di bawah standar kebiasaan.. So, sebagai pelajaran berharga, mungkin bagi kawan-kawan yang akan bepergian ke negara-negara yang memiliki iklim tidak sehangat Indonesia, jangan lupa untuk menyertakan jaket atau selimut dalam barang bawaan (dan senantiasa dibawa kemana saja).. 🙂

Mungkin kita akhiri dulu kisah ini. Insya Allah akan disambung lagi kalau ada kesempatan..

Stay tuned dan Wassalam..

Ditulis di kamar apato sambil melihat hujan salju..

Asahi-machi, Kanazawa, Jepang,

Tepat pada tanggal 13 januari 2012, sebuah email hinggap di layar Microsoft Outlook Web App-ku. Email yang singkat tersebut pada prinsipnya mengabarkan bahwa academic record hasil jerih payahku semasa melanjutkan studi S2 di JCU Australia telah dikirim ke alamatku di Makassar dan sebentar lagi Degree Certificate (ijazah)ku juga akan dikirimkan. Khusus untuk wisuda, aku memilih untuk in absentia (tidak hadir saat event tersebut diselenggarakan) sehingga ijazahku akan disahkan pada saat University Council Meeting diselenggarakan pada tanggal 28 Februari 2012. Padahal setelah mengumpulkan tesisku kepada supervisor pada tanggal 28 Agustus 2011, aku langsung kembali ke Makassar untuk menggeluti tugas-tugasku sebagai seorang dosen abdi negara di Fakultas Farmasi Universitas Hasanuddin. Jika dihitung-hitung, dari saat mengumpulkan tesisku pada supervisor sampai ijazah dan academic recordku disahkan, perlu waktu sekitar 6-7 bulan. Sungguh waktu yang lama bukan?

Mengapa demikian?

Selidik punya selidik, nilai tesis ternyata baru berhasil aku peroleh pada tanggal 11 januari 2012 atau sekitar enam bulan setelah submit tesis ke supervisor. Ini dikarenakan para reviewer tesisku perlu waktu untuk menguji keabsahan konten sekaligus masalah plagiarisme yang cenderung menjadi penyakit akademik.  Ditambah lagi libur natal dan tahun baru yang “menyempitkan” waktu kerja para reviewer tersebut (libur natal di Australia tidak seperti libur natal kita di Indonesia. Di sana mereka pada umumnya libur dari akhir November sampai awal Februari tahun selanjutnya). Tapi gak apa-apalah. Setidaknya tesisku diterima tanpa cacat akademik, memperoleh nilai yang sangat memuaskan, dan mengantarkanku untuk memperoleh gelar Master of Biomedical Sciences dari James Cook University, Australia. 🙂

Tesisku berjudul “Molecular Epidemiology of Chelonid Fibropapilloma-Associated Herpesvirus in Australia” dan terdiri atas enam chapter. Ia merupakan kumpulan tulisan hasil kerja keras selama berbulan-bulan yang dibangun dari secuil demi secuil ilmu pengetahuan . Dia adalah saksi bisu dari proses pembelajaran. Ada rasa stress, kecewa, sedih, penasaran dan bahagia didalamnya.

Menulis tesis sungguh tidak membahagiakan. Setidaknya bagiku. Bagaimana tidak? Baru nulis sedikit saja mata sudah mulai tidak mau bekerjasama. Rasa-rasanya ingin selalu merapat ke kasur. So, sebaiknya jauhkanlah kasur dari lokasimu mengetik skripsi atau tesis. Jika tidak, kamu akan sukses memilih kasur empuk itu daripada tesismu. Jika tidak percaya, boleh dicoba deh..  🙂

  

NB:

Setelah inaktif selama kurang lebih enam bulan dari blog ini, akhirnya aku kembali memiliki kekuatan dan kesempatan untuk melanjutkan kembali tulisan ini. Untuk para penulis, durasi kekosongan ini merupakan sebuah fase yang sangat tidak diinginkan. Terlebih lagi, sangat susah untuk melawannya.. 😀

Alhamdulillah. Akhirnya chapter 5 selesai juga. Bukan apanya-apanya sih tapi ada rasa girang bukan kepalang yang berkobar-kobar dalam diriku (ceilee..) karena akhirnya mampu menyelesaikan lima chapter tesis yang notabenenya menggunakan bahasa yang membuat lidah ber-akrobat dan alis mengernyit (mohon dibaca: bahasa inggris). Walaupun masih ada satu chapter lagi yang menunggu plus beberapa halaman tambahan seperti halaman abstrak dan halaman appendiks, aku optimis bisa menyelesaikan tesisku sebelum balik ke Indonesia. Apalagi empat chapter sebelumnya sudah diperbaiki mengacu pada saran-saran yang diberikan oleh supervisor (pembimbing utama) dan co-supervisorku (pembimbing tambahan), membuat kegirangan hatiku semakin bertambah.. 😀

Bagiku, menulis tesis dalam bahasa inggris adalah kegiatan yang susah. Susah karena banyak aturan yang mesti diikuti dan itu agak berbeda dengan saat aku menulis skripsi di S1 dulu. Selain itu database pilihan kata bahasa inggris yang “akademik” dan tata cara penggunaan bahasa inggris yang baik (sesuai dengan aturan grammar yang telah ditentukan) sangat minim dalam otakku. Walhasil, kamus dan buku-buku dasar berbahasa inggris pun jadi pelarian. Tapi salah satu keuntungan menjadi mahasiswa internasional yang disponsori oleh Australian Development Scholarship (ADS) di JCU (dan kurasa juga berlaku di universitas lain di Australia) adalah aku mendapat akses untuk mengkonsultasikan elemen bahasa tesisku ke seseorang yang lebih berkompeten dalam menggunakan bahasa inggris yang baik dan benar versi Australia. Versi Australia? Emang ada ya? Hm.. setahu saya sih ada soalnya beberapa kata dalam tesisku dicoret tanpa ampun kalo make huruf z. Misalnya menurut versi Australia yang sesuai adalah personalised, bukan personalized. Kalau ingin lebih tahu, coba aja tanya bang google. Yang jelas, temanku yang berasal dari Amerika pun angkat bendera putih segala kalau sudah bertemu dengan problem bahasa seperti ini.. 😀

Sejujurnya, menulis tesis dalam bahasa yang bukan bahasa keseharian kita (mohon dibaca: bahasa tidak lazim) itu menyenangkan (lho padahal barusan dibilang susah?). Menyenangkan karena akhirnya aku “dipaksa” untuk berkreasi membuat sebuah penjelasan atas hasil yang telah diperoleh dan pada akhirnya menarik benang merah kesimpulan (hahaha.. istilah apa lagi ini?) dari sekumpulan asumsi/hipotesis yang sejatinya diharapkan menjadi ujung tombak pencerahan ilmu dan penanda keberhasilan penelitian kita (Fiuh.. kalimat yang aneh!!!). Selain itu, unsur menyenangkan yang lain adalah sebagai non-english speaking person alias mahasiswa rantau yang tidak tahu apa itu english speaking person, aku punya alasan jitu ketika beradu argumen dengan supervisor dan co-supervisor mengenai isi dari tesisku. Cukup dengan mengatakan I believe this misunderstanding is happened due to the lack of my English proficiency. Would you mind to give me some time to read the articles again? atau Sorry, would you mind to repeat your explanation again?, aku kembali ke rumah tanpa membawa pulang beban di dada (kecuali beban untuk membaca artikel jurnal kembali).. 😀 

Finally, aku mau lanjut nulis tesis dulu nih. Kapan-kapan disambung lagi ya..

Wassalam. 

Baru-baru ini aku menyaksikan penampilan Raditya Dika di You Tube. Dalam aksinya yang orang sebut sebagai stand-up comedy, dia mengeluarkan beragam guyonan lucu mulai dari seputar iklan TV di Indonesia sampai pembantunya, Putri, yang kesurupan. Banyak yang tertawa dan aku rasa, banyak pula yang tak suka (utamanya pihak yang merasa dijelek-jelekkan). Ini lumrah adanya. Kadang hasil kreativitas sulit dipisahkan dari keadaan seperti ini.

Masih senada dengan itu, aku jadi teringat pada seorang kawan, seorang pandai yang sampai sekarang saya pun masih harus bertekuk lutut bila beradu argumentasi dengannya. 🙂

Potret Raditya seakan pinang dibelah dua bila disandingkan dengannya. Tidak sedikit masa dimana aku tertawa mendengar celotehannya atau mungkin takjub melihat kepandaiannya dalam mengeluarkan jawaban. Sebuah potensi yang jika dihandle  dengan cara yang baik, akan melahirkan sebuah manfaat.

Di mataku, Life Science Research (penelitian yang behubungan dengan kehidupan) pun seperti itu. Berpotensi untuk memakmurkan manusia tapi juga berbahaya dalam menjerumuskan pemikiran. Telah cukup banyak manfaat yang kita peroleh dari perkembangan ilmu pengetahuan. Pembuatan insulin in vitro melalui proses bioteknologi menggunakan mikroorganisme dan deteksi penyakit secara dini melalui gene scanning analysis adalah dua dari sekian banyak contoh yang bisa aku utarakan. Sayangnya, tidak sedikit peneliti yang mendalami ilmu tersebut, terkesima oleh godaannya. Beberapa di antara mereka terkenal sebagai orang yang tidak mempercayai Tuhan. Sebut saja Richard Dawkins, seorang pelopor teori evolusi modern, dan Stephen Hawking, seorang fisikawan yang belum lama ini meluncurkan bukunya yang berjudul The Grand Design.

Bila dilihat sekilas, mungkin memang ada hubungan unik antara Life Science Research dan kecenderungan untuk tidak mempercayai keberadaan Tuhan. Hal menarik yang tidak pernah aku bayangkan bisa terjadi pada seseorang sekaliber Richard Dawkins, Stephen Hawkings, atau bahkan Albert Einstein. Jika dibandingkan dengan mereka, ilmuku mungkin ibarat sebutir pasir di padang gurun ilmu yang mereka miliki. Tapi bukankah luasnya padang gurun itu terbatas? Di dunia ini saja, luasnya padang gurun tidak cukup  untuk menutupi besarnya lautan. Seperti itu jualah yang aku yakini tentang Life Science Research. Pertanyaan akan selalu ada. Hipotesis akan selalu dihasilkan. Tapi, sejauh mana kebenaran dapat ditemukan, tak dapat ditentukan. Ilmu kita akan selalu terbatas pada dimensi kecil dimana kita tinggal, mengembangkan wawasan, dan kemudian menjadi tua untuk selanjutnya meninggalkan dunia fana. Mungkin jika argumen ini dilihat sepintas lalu, orang akan berpikir bahwa Tuhan tidak adil. Bagaimana mungkin kita dituntut untuk mengagungkan keberadaan-Nya tapi ilmu kita akan selalu terbatas? Setiap pihak akan punya argumen masing-masing untuk hal yang satu ini. Namun dalam keterbatasan yang aku miliki, aku percaya bahwa Tuhan bukannya tidak adil kepada manusia. Aku rasa itu justru sebagai bukti kasih sayang-Nya terhadap ciptaan-Nya. Otak manusia, seberapapun besar kapasitasnya, terlalu rapuh untuk menampung semua informasi yang ada. Mungkin inilah ujian bagi manusia, sejauh mana bisa mempertahankan keyakinannya bila dihadapkan pada sebuah persimpangan yang menggelitik curiosity (rasa ingin tahunya).  Aku hanya percaya bahwa tidak akan ada pertanyaan yang berujung pada sebuah akhir dan penemuan manusia, semutakhir apapun itu, akan selalu berada dalam kedudukan yang kita sebut “kebenaran sementara”.

Dalam tulisan ini, aku tidak berbicara mengenai ada tidaknya potensi saya menjadi seorang komedian (yang mungkin jawabannya adalah tidak ada!) sekaligus sebagai seorang peneliti. Tidak juga tentang hubungan antara Life Science Research dengan probabilitas menjadi seorang atheis. That is beyond the scope of this note. 

Ini hanyalah sebuah curahan hati yang dipoles dalam untaian kata-kata. 🙂