Baru-baru ini aku menyaksikan penampilan Raditya Dika di You Tube. Dalam aksinya yang orang sebut sebagai stand-up comedy, dia mengeluarkan beragam guyonan lucu mulai dari seputar iklan TV di Indonesia sampai pembantunya, Putri, yang kesurupan. Banyak yang tertawa dan aku rasa, banyak pula yang tak suka (utamanya pihak yang merasa dijelek-jelekkan). Ini lumrah adanya. Kadang hasil kreativitas sulit dipisahkan dari keadaan seperti ini.

Masih senada dengan itu, aku jadi teringat pada seorang kawan, seorang pandai yang sampai sekarang saya pun masih harus bertekuk lutut bila beradu argumentasi dengannya. 🙂

Potret Raditya seakan pinang dibelah dua bila disandingkan dengannya. Tidak sedikit masa dimana aku tertawa mendengar celotehannya atau mungkin takjub melihat kepandaiannya dalam mengeluarkan jawaban. Sebuah potensi yang jika dihandle  dengan cara yang baik, akan melahirkan sebuah manfaat.

Di mataku, Life Science Research (penelitian yang behubungan dengan kehidupan) pun seperti itu. Berpotensi untuk memakmurkan manusia tapi juga berbahaya dalam menjerumuskan pemikiran. Telah cukup banyak manfaat yang kita peroleh dari perkembangan ilmu pengetahuan. Pembuatan insulin in vitro melalui proses bioteknologi menggunakan mikroorganisme dan deteksi penyakit secara dini melalui gene scanning analysis adalah dua dari sekian banyak contoh yang bisa aku utarakan. Sayangnya, tidak sedikit peneliti yang mendalami ilmu tersebut, terkesima oleh godaannya. Beberapa di antara mereka terkenal sebagai orang yang tidak mempercayai Tuhan. Sebut saja Richard Dawkins, seorang pelopor teori evolusi modern, dan Stephen Hawking, seorang fisikawan yang belum lama ini meluncurkan bukunya yang berjudul The Grand Design.

Bila dilihat sekilas, mungkin memang ada hubungan unik antara Life Science Research dan kecenderungan untuk tidak mempercayai keberadaan Tuhan. Hal menarik yang tidak pernah aku bayangkan bisa terjadi pada seseorang sekaliber Richard Dawkins, Stephen Hawkings, atau bahkan Albert Einstein. Jika dibandingkan dengan mereka, ilmuku mungkin ibarat sebutir pasir di padang gurun ilmu yang mereka miliki. Tapi bukankah luasnya padang gurun itu terbatas? Di dunia ini saja, luasnya padang gurun tidak cukup  untuk menutupi besarnya lautan. Seperti itu jualah yang aku yakini tentang Life Science Research. Pertanyaan akan selalu ada. Hipotesis akan selalu dihasilkan. Tapi, sejauh mana kebenaran dapat ditemukan, tak dapat ditentukan. Ilmu kita akan selalu terbatas pada dimensi kecil dimana kita tinggal, mengembangkan wawasan, dan kemudian menjadi tua untuk selanjutnya meninggalkan dunia fana. Mungkin jika argumen ini dilihat sepintas lalu, orang akan berpikir bahwa Tuhan tidak adil. Bagaimana mungkin kita dituntut untuk mengagungkan keberadaan-Nya tapi ilmu kita akan selalu terbatas? Setiap pihak akan punya argumen masing-masing untuk hal yang satu ini. Namun dalam keterbatasan yang aku miliki, aku percaya bahwa Tuhan bukannya tidak adil kepada manusia. Aku rasa itu justru sebagai bukti kasih sayang-Nya terhadap ciptaan-Nya. Otak manusia, seberapapun besar kapasitasnya, terlalu rapuh untuk menampung semua informasi yang ada. Mungkin inilah ujian bagi manusia, sejauh mana bisa mempertahankan keyakinannya bila dihadapkan pada sebuah persimpangan yang menggelitik curiosity (rasa ingin tahunya).  Aku hanya percaya bahwa tidak akan ada pertanyaan yang berujung pada sebuah akhir dan penemuan manusia, semutakhir apapun itu, akan selalu berada dalam kedudukan yang kita sebut “kebenaran sementara”.

Dalam tulisan ini, aku tidak berbicara mengenai ada tidaknya potensi saya menjadi seorang komedian (yang mungkin jawabannya adalah tidak ada!) sekaligus sebagai seorang peneliti. Tidak juga tentang hubungan antara Life Science Research dengan probabilitas menjadi seorang atheis. That is beyond the scope of this note. 

Ini hanyalah sebuah curahan hati yang dipoles dalam untaian kata-kata. 🙂