Tag Archive: Jepang


Cerita Cinta Kita di Tiga Negara..

Dear Zaudjah,

Tiga tahun, tiga negara.. Itulah petualangan kita dalam berumah-tangga, sayang. Sebuah karunia yang tak terhingga. Dan kita berdua tahu itu.. 😉

Australia, Indonesia, dan Jepang. Tiga negara yang berbeda dalam budaya dan bahasa – sebuah kombinasi unik yang telah digariskan oleh-Nya dalam Lauhul Mahfudz – telah menjadi saksi kita dalam menjalani hidup sebagai sepasang manusia. Sungguh sayang bila ini tak dituliskan dalam sebuah naskah.. Aku berharap cerita ini akan menjadi pengingat bagiku dan akan jadi memoar – sebuah kapsul waktu – yang dapat dibaca oleh anak cucu kita kelak, Insya Allah..

11 Jan 2010 – Saat dimana kita pertama kali menjejakkan kaki di bandara Sydney, Australia. Engkau terlihat sangat bahagia saat itu sayang (Walaupun pada saat itu kita terlihat seperti sepasang turis kampungan yang membawa beragam perkakas rumah tangga dari kampung halaman).. Itulah awal dimana kita memulai perjalanan hidup kita selama 1,5 tahun ke depan..

Juli 2010 – Masih ingatkah engkau ketika kita menggigil bersama di Mount Buller (Victoria) bersama kawan-kawan seperjuangan kita, menjelajahi kota Melbourne yang modern, menapaki rute panjang Bondi beach-Coogee Beach (Sydney) yang melelahkan, menikmati pancake on the rocks di Darling Harbour (Sydney) yang romantis, dan menikmati suasana indah penghujung malam di Opera House (Sydney)? Setiap detiknya begitu berharga bagiku, sayang.. Indah seperti yang aku khayalkan selama ini.. Tak pernah kubayangkan jika khayalan itu akan terasa nyata saat bersamamu..

Tapi cerita cinta kita di Australia tidak berhenti sampai disitu, sayang.. Masih segar dalam ingatanku ketika kita mengunjungi Trinity Bay, Rain Forest, dan Cairns Espalanade (Cairns) yang indah dan eksotik di penghujung tahun 2010 bersama our lovely big family, menikmati piknik rutin keluarga kecil kita di Strand Beach dan Rock Pool (Townsville) dan bermain kano bersama di Arcadia Bay (Magnetic Island, Townsville) untuk merayakan setahun kebersamaan kita dalam berumah tangga. Semua momen indah ini terangkum dalam bingkai kasih sayang di hatiku, zaujah.. Dan aku harap akan tetap tersimpan selamanya walau jasad fana ini telah rapuh dimakan usia.

27 Agustus 2011 – Masa dimana kita mengharu biru dalam sebuah kesedihan dan kebahagiaan. Sedih karena kita akan meninggalkan Australia dan menutup album kisah kita di negara tersebut dan bahagia karena kita akan menghambur dalam pelukan orang-orang yang kita kasihi dan memulai kisah kecil kita bersama mereka di negeri tercinta, Indonesia.

Makassar, Indonesia. Sebuah zona kecil di area nusantara dimana cita rasa kuliner dan keindahan menyatu dalam balutan irama kesederhanaan. Tempat dimana kita bertemu untuk pertama kalinya dan bersepakat untuk mengucap janji saling setia dalam ikatan suci pernikahan. Disinilah kita kemudian akan melanjutkan perjalanan cinta kita selama setahun ke depan..

Sayangnya, tak banyak momen spesial yang terjadi pada masa itu. Aku selalu disibukkan oleh rutinitasku sebagai seorang pengajar dan peneliti sehingga waktu kita untuk berkumpul dan tertawa bersama menjadi sangat berkurang. Aku tahu masa ini adalah hal yang paling membosankan buatmu, sayang. Namun, engkau selalu ada di balik pintu coklat itu. Sabar menungguku pulang sambil tersenyum ceria. Setiap hari..

Ah.. Begitu beruntungnya aku bersamamu, sayang.. Tidak sedikit masa dimana aku tak mampu berkata apa-apa dan tanpa perlu aku jelaskan, engkau segera mengerti kesusahan yang sedang aku alami. Yang terkadang membawaku berpikir dalam sebuah ironi. Apakah engkau merasakan kebahagiaan yang sama denganku, sayang?

Sayang, aku selalu berpikir untuk membawamu melanglang buana ke bumi Eropa. Menjelajahi Jerman yang misterius, mengunjungi Paris yang mempesona, dan melintasi Italia yang romantis. Persis seperti yang dulu kita impikan semasa di Australia. Dan aku berpikir telah memiliki kesempatan itu saat memperoleh beasiswa ke Jerman. Namun, kesempatan itu ternyata datang bersama berita buruk sebab kemungkinan besar aku harus berpisah darimu. Dan aku tak mau itu. Petualangan ini HARUS menjadi cerita kita berdua. Ini adalah harga mati untuk sebuah kebersamaan.

Dan Allah Azza wa Jalla telah memberikan kita rezeki yang tak terkira.. Kebahagiaan mengetuk pintu kamar kita sambil membawa sepucuk berita gembira. Kita akan mengunjungi dan tinggal selama tiga tahun di Kanazawa, sebuah kota di Jepang dimana corak masa depan dan kisah masa lalu bertemu. Engkau terlihat begitu bahagia waktu itu, sayang.. Bahagia karena di kota itu kita akan memulai petualangan baru bersama. Petualangan yang hingga kini masih menjadi misteri bagi kita berdua.

Inilah buah dari kesabaran. Seperti sepenggal hadits yang pernah disampaikan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Siapa yang merasa cukup, Allah akan mencukupinya (sehingga jiwanya kaya/merasa cukup dan dibukakan untuknya pintu-pintu rezeki).” (HR. Al-Bukhari no. 1469 dan Muslim no. 2421)

Sayang, sebuah kesyukuran bagiku untuk dapat mengunjungi beberapa tempat romantis, lokasi-lokasi petualangan, atau sekedar berbaur dalam komunitas manusia di negara-negara tersebut, bersamamu.. Membuatku mampu keluar dari dunia kecilku yang picik dan berusaha menjadi seorang kawan terbaik bagimu dalam menjalani sisa hidup ini..

Tak akan aku pungkiri bahwa perbedaan pendapat akan selalu ada di antara kita.. Engkau dengan jiwa pemimpi dan segala imajinasimu dan aku dengan jiwa realistis dan segala pertimbanganku akan selalu bertemu di persimpangan jawaban.. Sebuah persimpangan yang setiap saat akan membutuhkan keikhlasan hati untuk senantiasa menghormati keputusan yang telah disepakati. Tapi, bukankah menjalani perbedaan itu adalah sesuatu yang akan selalu membawa kita menuju pada kemenangan, sayang.. Kemenangan hakiki dari sebuah emosi jiwa yang bernama “ego”..

Siapa yang tahu, akan kemana Allah menentukan jalan takdir kita melangkah, sayang?

Aku harap, mengunjungi Baitullah dan menghirup wangi surga bersamamu adalah jawabannya..

Ditulis sebagai “kado” tiga tahun kebersamaan kita.

Salam manis,

Suami yang Insya Allah akan selalu menyayangimu..

Mengejar Mimpi di Kanazawa

Alhamdulillah..

Akhirnya setelah hampir setahun vakum, aku dapat kembali menulis jejak-jejak langkahku di blog ini.

December 2012.. A new chapter in our life has started..

Kanazawa, Jepang.. Insya Allah disinilah aku dan istriku tercinta akan bermukim selama 3 tahun ke depan..  Disini, aku ingin belajar menjadi seorang peneliti (jika bisa kelas dunia, kalau tidak bisa kelas lokal pun jadilah.. hehe) dan istriku ingin menjadi turis sekaligus pencari ilmu paruh waktu.. Sebuah kombinasi yang normal (?), bukan? 🙂

Tidak terasa telah dua bulan kami tinggal di kota ini. Dan Alhamdulillah kami masih bertahan (bahkan hidup dengan nyaman) walaupun tidak tahu menahu tentang bagaimana membaca aksara Jepang dan berbicara dalam bahasa Jepang. Sedikit banyaknya telah kami rasakan irama kehidupan di salah satu kota di bagian pantai barat Jepang ini, dengan sedikit bumbu “lost in translation” tentunya.

Masih teringat di benak kami waktu pertama kali menginjakkan kaki di Kansai International Airport. Semua serba asing.. Berbeda dengan pada waktu di Australia, kini kami harus berinteraksi dengan bahasa dan aksara yang kami tidak tahu maknanya. Tapi disitulah tantangannya. Kami harus bisa membuktikan kalau kami bisa survive di Jepang..

Tantangan pertama. Kami harus menempuh perjalanan darat menggunakan bus atau kereta api untuk sampai ke kota Kanazawa. Dengan pertimbangan waktu tempuh yang lebih pendek, kami akhirnya sepakat memilih angkutan kereta api (JR Express) untuk sampai ke Kanazawa (dan tentunya dengan niat untuk melihat stasiun Kanazawa yang katanya merupakan salah satu stasiun dengan arsitektur tercantik di dunia – http://www.travelandleisure.com/articles/worlds-most-beautiful-train-stations/7 – ;). Sayangnya, kami berdua betul-betul tidak bisa berbahasa Jepang. Walhasil, kami harus berusaha bertanya kesana kemari mengenai jalur kereta ke Kanazawa. Untunglah ada bagian informasi di depan pintu bandara (bahasa kerennya Airport Gate.. ceile) yang menyediakan layanan informasi dalam bahasa inggris. Berkat petunjuk dari bagian informasi bandara, kami akhirnya dapat menemukan lokasi loket pembelian tiket kereta api. Dari situ pulalah kami mengetahui bahwa barang-barang kami dapat diantar ke Kanazawa menggunakan sebuah perusahaan ekspedisi. Akhirnya, supaya tidak repot kami menggunakan jasa layanan tersebut dan barang kami akan tiba di Kanazawa keesokan sorenya.

Sesampainya di lokasi pembelian tiket kereta api, kami berdua kembali bingung karena ternyata sekitar 90% information board yang berisikan informasi penting seputar jalur kereta dan jadwal kereta ditulis dalam aksara Jepang (gak tau apakah itu katakana, hiragana, atau kanji) sehingga sebagai pengunjung baru, kami merasa wajib panik.. hehehe.. untunglah dengan bantuan conversation two-in-one antara kami dengan seorang anak muda Jepang (kami bertanya dalam bahasa inggris dan dia menjawab dalam bahasa jepang.. gimana cara mengertinya ya?), kami akhirnya dapat membeli tiket kereta menuju Shin-Osaka (dan ternyata pada saat diperiksa oleh kondektur, sang kondektur bilang – dalam bahasa jepang tentunya – kalau tiketnya salah dan kami harus membayar tiket lain saat itu juga.. Untung gak mahal.. hihihi). Perlu diketahui, untuk sampai ke Kanazawa, kami harus mengambil jalur Kansai – Shin-Osaka – Kanazawa yang artinya akan ada one stop di Shin-Osaka (pada saat itu kami tidak tahu menahu tentang jalur yang lain, jika ada).

Di Shin-Osaka, walaupun petugas loketnya ramah-ramah tapi masih sama habitnya. Ditanya bahasa inggris eh, malah dijawab pake bahasa jepang. Berbekal bahasa isyarat itupun kami berhasil membeli tiket ke Kanazawa. Perjalanan ke Kanazawa ditempuh dalam waktu 3-4 jam dan alhamdulillah kami tiba dengan selamat. Utusan Global Affairs Office Pihak Kanazawa University (tempatku akan menuntut ilmu..ehem..ehem), atas nama Maiko-san, menjemput kami di stasiun dan langsung mengantar kami ke pihak Real Estate Agent untuk menandatangani berkas sewa apartemen (orang sini bilangnya apato..). Setelah itu barulah beliau mengantar kami ke apato.

Tantangan kedua. Transaksi jual beli di Jepang pada hari pertama kedatangan sangat sulit untuk dilupakan. Bahkan, kalau diingat-ingat bolehlah untuk jadi bahan candaan. Seperti biasa, penyakit orang Jepang kalau bertemu turis. Dimanapun sama saja. Ditanya bahasa inggris jawabnya pake bahasa jepang. Bahkan untuk supermarket sekelas AEON.. Untunglah harga barang-barang ditulis dalam angka sehingga kami bisa paham.. hihihi..

Yang masalah, mungkin untuk tahu status halal dan haramnya suatu bahan makanan. Kalau untuk bahan mentah mungkin agak mudah. Yang sulit itu pada saat mau membeli barang kemasan. Misalnya, biskuit atau roti. Akhirnya, supaya lebih aman, kami pun hanya membeli udang dan ikan tempura yang telah siap untuk dikonsumsi (pada waktu itu kami belum punya perlengkapan dapur sama sekali – sewa apato ternyata tidak termasuk kompor dan perlengkapan lainnya) dan membeli nasi kemasan (yang dimasak menggunakan microwave) di mini retail dekat apato. Makan malam yang sangat sederhana namun terasa sangat istimewa. Makan malam pertama kami berdua di Kanazawa.. Momen indah yang tidak akan terlupakan.. 🙂

Tantangan ketiga. Bagaimana kami melalui malam pertama kedatangan tanpa ada apapun di apato kami? Bahasa kerennya, No Bed, No Warm clothes, No blankets, de el el. Untunglah ada seorang teman asal Makassar, namanya jenk Ira Taskirawati, yang berbaik hati meminjamkan kasur tidurnya (bahasa sini = Futon) dan beberapa pernak-pernik (?) seperti mesin cuci, kulkas, dan beberapa alat masak.. Entah darimana kawan tersebut memperoleh barang sebanyak ini tapi yang jelas kami bisa tidur di atas kasur tidur yang walaupun ukurannya single size futon namun empuk rasanya (sambil membayangkan empuknya spring bed di kamar tidur kami di Makassar supaya nuansa tidur lebih terasa nyaman.. hihihi).

Karena letih, kami akhirnya segera terlelap. Namun, karena suhu yang sangat dingin (mungkin sekitar 10 derajat celcius) kami terjaga di tengah malam. Masalah timbul karena koper berisi jaket kami masih dalam perjalanan menuju Kanazawa dan baru tiba keesokan harinya. Walhasil, kami akhirnya harus rela tidur dalam suhu yang relatif di bawah standar kebiasaan.. So, sebagai pelajaran berharga, mungkin bagi kawan-kawan yang akan bepergian ke negara-negara yang memiliki iklim tidak sehangat Indonesia, jangan lupa untuk menyertakan jaket atau selimut dalam barang bawaan (dan senantiasa dibawa kemana saja).. 🙂

Mungkin kita akhiri dulu kisah ini. Insya Allah akan disambung lagi kalau ada kesempatan..

Stay tuned dan Wassalam..

Ditulis di kamar apato sambil melihat hujan salju..

Asahi-machi, Kanazawa, Jepang,