Alhamdulillah..

Akhirnya setelah hampir setahun vakum, aku dapat kembali menulis jejak-jejak langkahku di blog ini.

December 2012.. A new chapter in our life has started..

Kanazawa, Jepang.. Insya Allah disinilah aku dan istriku tercinta akan bermukim selama 3 tahun ke depan..  Disini, aku ingin belajar menjadi seorang peneliti (jika bisa kelas dunia, kalau tidak bisa kelas lokal pun jadilah.. hehe) dan istriku ingin menjadi turis sekaligus pencari ilmu paruh waktu.. Sebuah kombinasi yang normal (?), bukan? 🙂

Tidak terasa telah dua bulan kami tinggal di kota ini. Dan Alhamdulillah kami masih bertahan (bahkan hidup dengan nyaman) walaupun tidak tahu menahu tentang bagaimana membaca aksara Jepang dan berbicara dalam bahasa Jepang. Sedikit banyaknya telah kami rasakan irama kehidupan di salah satu kota di bagian pantai barat Jepang ini, dengan sedikit bumbu “lost in translation” tentunya.

Masih teringat di benak kami waktu pertama kali menginjakkan kaki di Kansai International Airport. Semua serba asing.. Berbeda dengan pada waktu di Australia, kini kami harus berinteraksi dengan bahasa dan aksara yang kami tidak tahu maknanya. Tapi disitulah tantangannya. Kami harus bisa membuktikan kalau kami bisa survive di Jepang..

Tantangan pertama. Kami harus menempuh perjalanan darat menggunakan bus atau kereta api untuk sampai ke kota Kanazawa. Dengan pertimbangan waktu tempuh yang lebih pendek, kami akhirnya sepakat memilih angkutan kereta api (JR Express) untuk sampai ke Kanazawa (dan tentunya dengan niat untuk melihat stasiun Kanazawa yang katanya merupakan salah satu stasiun dengan arsitektur tercantik di dunia – http://www.travelandleisure.com/articles/worlds-most-beautiful-train-stations/7 – ;). Sayangnya, kami berdua betul-betul tidak bisa berbahasa Jepang. Walhasil, kami harus berusaha bertanya kesana kemari mengenai jalur kereta ke Kanazawa. Untunglah ada bagian informasi di depan pintu bandara (bahasa kerennya Airport Gate.. ceile) yang menyediakan layanan informasi dalam bahasa inggris. Berkat petunjuk dari bagian informasi bandara, kami akhirnya dapat menemukan lokasi loket pembelian tiket kereta api. Dari situ pulalah kami mengetahui bahwa barang-barang kami dapat diantar ke Kanazawa menggunakan sebuah perusahaan ekspedisi. Akhirnya, supaya tidak repot kami menggunakan jasa layanan tersebut dan barang kami akan tiba di Kanazawa keesokan sorenya.

Sesampainya di lokasi pembelian tiket kereta api, kami berdua kembali bingung karena ternyata sekitar 90% information board yang berisikan informasi penting seputar jalur kereta dan jadwal kereta ditulis dalam aksara Jepang (gak tau apakah itu katakana, hiragana, atau kanji) sehingga sebagai pengunjung baru, kami merasa wajib panik.. hehehe.. untunglah dengan bantuan conversation two-in-one antara kami dengan seorang anak muda Jepang (kami bertanya dalam bahasa inggris dan dia menjawab dalam bahasa jepang.. gimana cara mengertinya ya?), kami akhirnya dapat membeli tiket kereta menuju Shin-Osaka (dan ternyata pada saat diperiksa oleh kondektur, sang kondektur bilang – dalam bahasa jepang tentunya – kalau tiketnya salah dan kami harus membayar tiket lain saat itu juga.. Untung gak mahal.. hihihi). Perlu diketahui, untuk sampai ke Kanazawa, kami harus mengambil jalur Kansai – Shin-Osaka – Kanazawa yang artinya akan ada one stop di Shin-Osaka (pada saat itu kami tidak tahu menahu tentang jalur yang lain, jika ada).

Di Shin-Osaka, walaupun petugas loketnya ramah-ramah tapi masih sama habitnya. Ditanya bahasa inggris eh, malah dijawab pake bahasa jepang. Berbekal bahasa isyarat itupun kami berhasil membeli tiket ke Kanazawa. Perjalanan ke Kanazawa ditempuh dalam waktu 3-4 jam dan alhamdulillah kami tiba dengan selamat. Utusan Global Affairs Office Pihak Kanazawa University (tempatku akan menuntut ilmu..ehem..ehem), atas nama Maiko-san, menjemput kami di stasiun dan langsung mengantar kami ke pihak Real Estate Agent untuk menandatangani berkas sewa apartemen (orang sini bilangnya apato..). Setelah itu barulah beliau mengantar kami ke apato.

Tantangan kedua. Transaksi jual beli di Jepang pada hari pertama kedatangan sangat sulit untuk dilupakan. Bahkan, kalau diingat-ingat bolehlah untuk jadi bahan candaan. Seperti biasa, penyakit orang Jepang kalau bertemu turis. Dimanapun sama saja. Ditanya bahasa inggris jawabnya pake bahasa jepang. Bahkan untuk supermarket sekelas AEON.. Untunglah harga barang-barang ditulis dalam angka sehingga kami bisa paham.. hihihi..

Yang masalah, mungkin untuk tahu status halal dan haramnya suatu bahan makanan. Kalau untuk bahan mentah mungkin agak mudah. Yang sulit itu pada saat mau membeli barang kemasan. Misalnya, biskuit atau roti. Akhirnya, supaya lebih aman, kami pun hanya membeli udang dan ikan tempura yang telah siap untuk dikonsumsi (pada waktu itu kami belum punya perlengkapan dapur sama sekali – sewa apato ternyata tidak termasuk kompor dan perlengkapan lainnya) dan membeli nasi kemasan (yang dimasak menggunakan microwave) di mini retail dekat apato. Makan malam yang sangat sederhana namun terasa sangat istimewa. Makan malam pertama kami berdua di Kanazawa.. Momen indah yang tidak akan terlupakan.. 🙂

Tantangan ketiga. Bagaimana kami melalui malam pertama kedatangan tanpa ada apapun di apato kami? Bahasa kerennya, No Bed, No Warm clothes, No blankets, de el el. Untunglah ada seorang teman asal Makassar, namanya jenk Ira Taskirawati, yang berbaik hati meminjamkan kasur tidurnya (bahasa sini = Futon) dan beberapa pernak-pernik (?) seperti mesin cuci, kulkas, dan beberapa alat masak.. Entah darimana kawan tersebut memperoleh barang sebanyak ini tapi yang jelas kami bisa tidur di atas kasur tidur yang walaupun ukurannya single size futon namun empuk rasanya (sambil membayangkan empuknya spring bed di kamar tidur kami di Makassar supaya nuansa tidur lebih terasa nyaman.. hihihi).

Karena letih, kami akhirnya segera terlelap. Namun, karena suhu yang sangat dingin (mungkin sekitar 10 derajat celcius) kami terjaga di tengah malam. Masalah timbul karena koper berisi jaket kami masih dalam perjalanan menuju Kanazawa dan baru tiba keesokan harinya. Walhasil, kami akhirnya harus rela tidur dalam suhu yang relatif di bawah standar kebiasaan.. So, sebagai pelajaran berharga, mungkin bagi kawan-kawan yang akan bepergian ke negara-negara yang memiliki iklim tidak sehangat Indonesia, jangan lupa untuk menyertakan jaket atau selimut dalam barang bawaan (dan senantiasa dibawa kemana saja).. 🙂

Mungkin kita akhiri dulu kisah ini. Insya Allah akan disambung lagi kalau ada kesempatan..

Stay tuned dan Wassalam..

Ditulis di kamar apato sambil melihat hujan salju..

Asahi-machi, Kanazawa, Jepang,